GELAR AKADEMIK. SIAPA BERHAK MEMBERIKAN DAN SIAPA BERHAK MENERIMA?
BAGAIMANA GELAR AKADEMIK DICANTUMKAN DAN DIMANA DIGUNAKAN? [1]
(C) 2010 - E1 KOSTER 0115 Thunder RiderGELAR AKADEMIK UNTUK APA?Artikel ini saya tulis mengingat sekarang begitu banyak orang mencantumkan gelar akademik didepan dan atau dibelakang namanya, tanpa aturan, tak pada tempat dan waktu semestinya, dan bahkan oleh mereka yang sebenarnya tak kompeten, atau bahkan tak berhak mengenakannya alias gelar palsu, untuk sekedar mainmain, nampang, gagahgagahan, atau justeru melakukan penipuan. Dan sudah banyak kasus saya temukan dari lingkungan dan para orang dekat sekitar saya.
Pemberian gelar, secara umum, telah berlangsung beradad lamanya, sejak zaman kuno, kepada mereka yang dianggap memiliki kelebihan atau berjasa terhadap pemerintah dan atau masyarakat dan atau kelompok tertentu. Hal inilah yang kemudian membuat sebagian orang "gila" akan gelar, karena gelar dianggap sebagai sebuah prestise, dan karena ingin dianggap berprestasi, berkemampuan, dan ingin dihormati. Ada rasa kebanggaan tersendiri bagi para penyandang gelar, walau sebagian mereka sebenarnya tak pantas, layak, patut, atau bahkan samasekali tak kompeten memakai gelar tersebut. Gelar dianggap sebagai suatu tanda penghormatan dan dapat meningkatkan peringkat atau status sosial dalam masyarakat.
Di bumi Nusantara, pemberian gelar telah berlangsung sejak zaman kerajaan dan kesultanan. Ada gelar bangsawan untuk mereka yang dianggap memiliki "darah biru". Penganugerahan gelar terus berlangsung dan dianggap penting dalam masa feodalisme. Di berbagai daerah pun ada yang disebut sebagai "gelar adat". Lalu ada pula gelar keagamaan, dan lain sebagainya. Jadi penggunaan berbagai gelar, secara historik, di Indonesia, adalah satu warisan feodalisme, alias neo-feodalisme.
. . .
GELAR AKADEMIK BUKAN UKURAN KEMAMPUANTerus terang, kalau ada orang menanyakan apa gelar akademik saya, saya menjadi risih, apalagi jika orang mencantumkan gelar pada nama saya tanpa perkenan, dan apalagi pencantumnya keliru. Kalau pun saya mau memakai gelar akademik, tak akan ada orang mempertanyakan, karena semua teman sekolah dan kuliah saya tahu bahwa saya memang memiliki kemampuan untuk meraih gelar tersebut, dan saya dikenal sangat cerdas dikalangan teman belajar. Dan kalau pun dites kemampuan saya, orang tak akan meragukan bahwa saya kompenten atau memang berkemampuan menyandang gelar tersebut. Tapi untuk apa?
Sering orang menanyakan kepada saya, "Bapak bisa bicara begini" atau "Bapak bisa menulis ini", "Latarbelakang pendidikan Bapak apa?" atau "Dulu kuliah di jurusan apa?" atau "Gelarnya apa?" Saya hanya tertawa, dan saya katakan bahwa saya bukan orang sekolahan!
Sejak sekolah hingga kuliah, saya tiap tahun secara rutin melakukan test intelligence quotient (IQ), dan hasilnya selalu diatas rerata, bahkan antara satu setengah sampai dua kali lipat rerata orang, atau mencapai peringkat luarbiasa (extraordinary), yang dalam istilah MENSA (High IQ Society) termasuk orang cerdas langka (exceptionally intelligent). Artinya, saya bisa sukses menyelesaikan pendidikan sampai peringkat tertinggi akademik di bidang apa saja yang saya mau dalam waktu singkat tanpa kesulitan berarti.
Namun keadaan ini membuat saya samasekali tak memiliki gairah dan tantangan untuk meraih gelar akademik, karena saya bisa memperolehnya dengan mudah. Kendalanya hanya waktu dan biaya. Dan gelar akademik setinggi apa pun tak lagi menjadi istimewa bagi saya. Lagi pula saya tak berniat untuk berkarir di bidang akademik sebagai dosen. Keluarga saya adalah keluarga pengusaha, dan mereka menginginkan saya meneruskan usaha keluarga. Jadi tanpa ijazah pun saya bisa memperoleh pekerjaan tanpa suah payah. Dan juga tak ada keingin bagi saya untuk bekerja pada pemerintah sebagai pegawai negeri. Sehingga ijazah dan gelar akademik bagi saya hampir tak memiliki arti.
Kecerdasan pada dasarnya tak memiliki hubungan apa pun dengan gelar akademik, dan tak menjamin akan kesuksesan seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Gelar akademik hanyalah suatu tanda bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam ujian akademik pada peringkat tertentu, terlepas apakah dia lulus memang karena kemampuan sendiri secara jujur, atau karena faktor lain.
Gelar akademik samasekali tak dapat dipakai sebagai ukuran kemampuan bahwa yang bersangkutan menguasai dengan baik bidang ilmu yang ia pelajari, apalagi sebagai ahli atau pakar. Sedangkan kesuksesan dalam kehidupan di masyarakat lebih banyak ditentukan oleh kemampuan bergaul dan berkomunikasi secara sosial dan personal, disamping juga memiliki kemampuan intelektual, pengalaman menghadapi berbagai sikon, solusi problem, melakukan negosiasi, menangani resiko, dan mengatasi kasus emergensi atau darurat.
Fakta menunjukan, ketika saya menjabat sebagai direktur pada suatu perusahaan, saya pernah memberikan tes dasar MENSA sangat sederhana kepada lebih 100 sarjana pelamar pekerjaan, dan hasilnya "nol besar." Kesimpulan saya, ijazah sarjana tak dapat dipakai sebagai ukuran kemampuan berpikir dan kemampuan menyelesaikan masalah. Berikutnya saya juga pernah memberikan tes problem lapangan sangat sederhana kepada beberapa kelompok insinyur, dan hasilnya juga "nol besar." Artinya mereka tak memiliki kemampuan pelacakan gangguan (troubleshooting) memadai untuk menemukan sumber masalah dalam kurun waktu ditentukan. Lalu bagaimana mungkin memberikan solusi problem?
. . .
DAPATKAN ILMUNYA - BUKAN GELARNYABanyak orang matimatian sekolah atau kuliah, bahkan dengan biaya sangat mahal, untuk sekedar memperoleh selembar kertas yang namanya ijazah atau diploma. Namun tak banyak orang yang mau belajar untuk menimba ilmu bermanfaat selama sekolah atau kuliah. Baik ilmu pengetahuan, komunikasi dalam pergaulan, maupun organisasi. Pertama dari semua, yang penting lulus, entah bagaimana caranya, apakah dengan mecontek atau menyuap, itu tak penting, pokoknya dapat pengakuan akademik tertulis dan bisa pakai gelar. Lantas kalau tak lulus, yah beli saja gelar dan ijazah aspal, karena konon kertas dan gelar tersebut sakti untuk memperoleh pekerjaan dan penghormatan. Kalau tak punya duit, yah boleh pakai doong sekalisekali buat nampang. Sebegitunyakah?
Meski keluarga saya memiliki perusahaan sendiri, namun sejak pertama lepas kuliah saya ingin mencoba mencari pengalaman dgn bekerja pada perusahaan orang lain, untuk menguji diri apakah saya mampu menjadi seorang profesional sejati. Dan yang saya lakukan adalah melakukan penawaran keahlian (skill over) pada selembar kertas plus biodata ringkas, tanpa gelar dan tanpa ijazah, bukan melamar pekerjaan dengan melampirkan salinan atau fotokopi ijazah. Secara diam-diam saya sudah belajar teknik pemasaran jitu tentang bagaimana menarik perhatian calon pelanggan. Dan hasilnya saya diterima di berpuluh-puluh perusahaan besar kaliber raksasa multinasional. Dan dengan demikian sy tinggal memilih, perusahan mana yang saya suka atau saya anggap cocok, dan mana yang memberikan kompensasi terbesar dan memberikan peluang pengembangan karir terbaik.
Sejak pertama saya berkerja, dari tahun ke tahun, dari perusahaan ke perusahaan, saya bekerja di berbagai perusahaan swasta multinasional, dimana mayoritas teman sekerja adalah orang Amerika atau Eropa. Namun tak ada satu pun perusahaan menanyakan gelar akademik, bahkan tak juga ijazah. Umumnya saya hanya ditanya tentang pendidikan terakhir dan bidang spesialisasi dan apakah mampu melakukan pekerjaan ditawarkan. Dan saya selalu lulus wawancara. Selanjutnya saya selalu memperoleh pekerjaan sebagai staf ahli atau profesional, dan pada kali pertama saya memperoleh jabatan setara lulusan strata satu (S1).
Begitu pula ketika saya bekerja untuk berbagai perusahaan swasta nasional. Bedanya adalah beberapa diantara mereka mencantumkan "engineer" pada kartu nama saya, karena saya memang bekerja sebagai "engineer". Ketika saya bekerja pada satu lembaga pendidikan, Direktur lembaga mencantumkan gelar didepan nama pada kartu nama saya. Terus terang saya agak risih dengan embel-embel gelar ini, karena merasa tak selayaknya. Selama bekerja pada lembaga pendidikan, saya berkempatan mengambil pendidikan sains di satu Institut di AS untuk jenjang pendidikan strata dua (S2) dengan gelar Master of Science (MSc). Dan selanjutnya saya mengambil program strata tiga (S3) untuk gelar Doctor (Dr) atau Doctor of Philosophy (Phd).
Telah lebih tiga kali saya ditawari pekerjaan sebagai dosen di beberapa lembaga pendidikan, dan terakhir dengan jabatan dekan fakultas di satu universitas, namun semuanya saya tolak, karena saya merasa dunia pendidikan bukanlah dunia saya, dan saya lebih tertarik berkerja di dunia profesional dan bisnis. Dan sejak saya tak lagi bekerja di lembaga pendidikan, tak akan anda temukan satu gelar pun di kartu nama saya.
. . .
LEBIH BAIK MAMPU TANPA GELAR DARIPADA PUNYA GELAR TAPI TAK MAMPUYang jadi pertanyaan apakah penting bahwa gelar akademik sedemikian harus dicantumkan di kartu nama, terlebih bila kartu nama tersebut samasekali tak ada hubungannya dengan bidang pendidikan atau akademik. Apa lagi bila gelar tersebut sampai dicantumkan di kartu tanda penduduk (KTP) dan atau surat izin mengemudi (SIM). Bahkan saya pernah beberapa kali menemukan undangan pernikahan dimana sepasang mempelai mencantumkan gelar akademik. Apa relevansinya?
Dalam kenyataan, tanpa mencantum gelar akademik, saya bisa bekerja dan berpindah dengan mudah dari satu ke perusahaan besar ke perusahaan besar lain, dalam waktu relativ singkat, dimana dari level engineer saya berpindah ke level general manager (GM), dan kemudian ke chief executive officer (CEO) atau president alias posisi pelaksana tertinggi dalam perusahaan. Namun ada baiknya juga, jabatan managerial, telah memaksa saya yang berlatarbelakang sains dan teknologi rekayasa untuk belajar manajemen [perusahaan, personalia, keuangan, pemasaran, dst], psikologi, hukum persetujuan kontrak, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dlsb, dan bidang lain diperlukan untuk jabatan tersebut.
Karena profesi dan jabatan saya di perusahaan teknologi, selama beberapa kali saya diminta sebagai pembicara (speaker) dalam seminar menyangkut sains dan teknologi, saya selalu diminta mencantumkan gelar akademik. Dalam hati saya bertanya apakah, apakah orang tanpa gelar akademik dianggap tak memiliki kemampuan untuk berbicara di bidang sains dan teknologi? Seolaholah mereka tak melihat pada kenyataan jabatan saya di perusahaan pada waktu itu, bahwa untuk menduduki posisi tersebut dituntut dan diperlukan keahlian dan kemampuan yang tak mainmain dan pengalaman lapangan tahunan.
Ada hal yang bagi saja juga rada janggal, yakni pada suatu kali saya pernah secara iseng menawarkan diri untuk mengajar bahasa Inggris di satu lembaga pendidikan bahasa Inggris, untuk memperkenalkan sistem belajar bahasa Inggris secara cepat dalam waktu singkat hasil rumusan saya sendiri. Lantas dipertanyakan ijazah atau diploma pendidikan bahasa Inggris, dan tentu saja saya tak punya. Padahal pada masa kuliah, saya lebih tujuh kali lulus dan bahkan diterima di tingkat akhir di lembaga pendidikan bahasa Ingris nomor wahid di Indonesia, hanya saja saya tak pernah kursus disana, dan ikut ujian hanya untuk jadi joki [pemberi contekan] untuk mereka yang mau masuk. Pikir saya waktu itu, untuk apa kursus kalau saya sudah bisa. Tampaknya si pewawancara terlalu kaku berpegang pada selembar kertas, dan samasekali tak mengngat bahwa saya telah bekerja tahunan di perusahaan multinasional dengan sejawat orang Amerika dan Eropa, dan lain daripada itu saya sudah melanglang buana ke Eropa, Inggris, dan London, dan pernah belajar disana. Apakah ijazah atau diploma bahasa menjadi ukuran kemampuan berbahasa?
. . .
GELAR ITU SAKTI?Kesimpulan saya untuk sementara, ijazah dan gelar akademik sangat diperlukan, memiliki "nilai jual," "penting," dan "sakti" untuk sebagian besar masyarakat awam di Indonesia. Tentang bagaimana "nilai jual," "penting," dan "sakti" ijazah dan gelar akademik ini, saya tak akan banyak berkomentar, melainkan silahkan baca kutipan dari beberapa artikel dan kasus berikut ini.
Pesan saya, bagi yang memilikinya, gunakan gelar akademik sesuai tempat dan waktunya. Jika tak menjabat posisi akademik, tak semestinya dicantumkan di kartu nama yang bukan kartu nama lembaga pendidikan, perguruan tinggi, atau universtitas.
Tak diperlukan di kartu nama perusahaan, apalagi untuk pegawai negeri sebagai pelayan masyarakat, karena tak ada relevansinya, kecuali untuk gagah-gagahan dan padahal hal tersebut justeru menunjukan bahwa si pemakai gelar tak mengerti aturan.
Untuk praktikan profesional, seperti arsitek, dokter, apoteker, akuntan, pengacara, dan semacamnya, cantumkan gelar akademik atau gelar profesional hanya dalam hal menyangkut profesi atau pekerjaan, tak untuk hal lain yang samasekali tak ada kaitannya.
Dalam beberapa hal, menyangkut penulisan karya tulis atau makalah ilmiah atau teknik, yang memerlukan referensi dan tanggungjawab akademik atau profesional, silahkan cantumkan gelar, sesuai ketentuan dan aturan berlaku.
. . .
PENYALAHGUNAAN GELAR AKADEMIK ADALAH TINDAK PIDANA KRIMINALTulisan ini akan saya akhiri dengan melampirkan ketentuan dan peraturan pemakaian gelar akademik dari bekas almamater saya, Undang-Undang Pemerintah Negara Repulik Indonesia, beberapa Keputusan Menteri Pendidikan Republik Indonesia tentang pemakaian gelar akademik, baik untuk lulusan dalam negeri maupun untuk lulusan luar negeri. Dan perlu saya garisbawahi bahwa dengan merujuk kepada Undang-Undang dan Keputusan tersebut diatas, penyalahgunaan atau penggunaan gelar akademik bagi yang tak berhak adalah, tindak pidana kriminal, dengan ancaman hukuman penjara bulana hingga tahunan dan denda jutaan Rupiah.
. . .
Tindakan benar atau tidak kalau ada anggota klub atau komunitas sepedamotor yang mencantumkan atribut predikat akademik atau profesional, untuk informasi yang samasekali tak ada hubungan dengan akademik atau profesional, sbb, misalnya, Prof. DR. Ir. EE ONE S MSc MEng CCP CSP CDP, President Director PT Angin Ribut, dlsb . . . Selain cara pencantuman gelar diatas tak sesuai aturan, apalagi jika gelar tersebut palsu alias yang bersangkutan tak pernah mengenyam pendidikan sesuai gelar tersebut. Macam si Chaniago yang mencantumkan gelar di papan nama rumahnya, Prof. DR. Chaniago MSc, padahal artinya: Pemberitahuan rutin orang fahamkan, [bahwa] Disini Rumahnya Chaniago Mantan Supir Camat . . . . . . . . .. hahaha!
. . . . . . . . . whaaa kkkaaaaa khaaaaaaakkkkkkkkk . . . . . . . . .
. . .
Silahkan ikuti rangkaian kutipan berikut . . . dan semoga berguna.
. . .
E1 KOSTER 0115 Thunder Rider
[ nama alias tanpa gelar ]Konsultan Teknologi Informasi dan Komunikasi
[ ini pekerjaan saya, tak perlu pakai gelar ]